Sabtu, 21 Juni 2008

PERANAN GURU

Guru, Ujung Tombak Peningkatan Mutu SDM

PENYELENGGARAAN pendidikan pada sekolah menengah yang mengacu pada sistem KBK belum genap setahun berjalan, muncul lagi wacana tentang penerapan sistem SKS. Sebetulnya sistem pendidikan reguler klasikal tidak jauh berbeda dengan sistem SKS dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dan mempercepat kelulusan siswa yang pintar, sebab target kelulusan tercepat adalah tiga tahun. Berbeda halnya dengan sistem percepatan atau ekselerasi.

Sebetulnya upaya meningkatkan mutu pendidikan berpulang pada semua komponen pendidikan beserta pendukungnya. Terlebih guru sebagai motivator siswa yang kurang cerdas dan semakin rendah kemauan belajarnya. Perlu diketahui, bahwa beberapa penyebab kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran di antaranya keterbatasan sarana-prasarana pembelajaran, kurangnya kecakapan guru dalam pengelolaan kelas dan penguasaan materi oleh guru yang kurang memadai. Kurangnya guru menerapkan pendekatan dan model pembelajaran yang variatif dan efektif serta kurangnya melibatkan siswa dalam pembelajaran, dirasakan sebagai faktor utama penyebab rendahnya minat belajar siswa. Untuk itu guru dituntut lebih inovatif dalam usaha menumbuhkan minat belajar siswa. Caranya, dengan menambah variasi metode yang menarik sesuai dengan karakteristik materi pelajaran, dengan selalu melibatkan siswa serta meningkatkan aktivitas dan tanggung jawabnya. Hal ini mengingat pembelajaran (ambil saja contoh pembelajaran IPA), sering dilaksanakan melalui kegiatan satu arah, sehingga guru menjadi pusat kegiatan pembelajaran. Dalam metode satu arah pembelajaran IPA hanyalah proses memindahkan ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa tanpa memberikan kesempatan untuk melatih proses berpikir siswa, mencari, menemukan dan membuktikan konsep-konsep IPA. Akibatnya hasil belajar siswa bukan sebagai pemahaman konsep, tetapi karena hafal.

Pengejawantahan pembelajaran dengan KBK, dengan berbagai pendekatan dan metodenya sebagai jawaban menghapus kelemahan-kelemahan pada guru. Tentunya harus ditunjang pula dengan faktor-faktor lain sebagai pendukung tercapainya tujuan pembelajaran yang optimal.

Penerapan sistem SKS memang sangat ideal untuk menggenjot kemandirian siswa dalam usaha mencapai kemajuan dan mengejar ketertinggalan. Tetapi melihat mental psikologis siswa sekolah menengah, terutama SMP, masih dalam kondisi labil, masih dalam usaha mencari-cari jati diri dan eksistensi. Jiwa kemandirian belum sepenuhnya ada pada diri mereka, walau hidup di era globalisasi yang sarat dengan kompetisi. Tetapi dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi banyak membuat mereka jadi bersifat konsumtif, cenderung lebih suka hidup santai dan mengabaikan tugas belajarnya.

Ada beberapa kekhawatiran bila sistem SKS diterapkan pada sekolah menengah, di antaranya:

1. Guru yang kurang memiliki komitmen akan semakin malas menerapkan metode pembelajaran yang efektif. Akan lebih banyak memberikan tugas-tugas kepada siswa agar bisa menyelesaikan pembelajaran secara mandiri. Terhadap siswa yang cerdas, memang tidak terlalu bermasalah karena masih bisa mengikuti, walaupun tidak seoptimal pembelajaran yang intensif. Tetapi kenyataannya banyak siswa kita memiliki kemampuan akademis di bawah rata-rata. Ditambah lagi semakin dikuranginya ujian nasional yang pada akhirnya nanti tidak ada lagi standar mutu lulusan tingkat nasional menjadikan guru tidak risau akan target pencapaian kurikulum dan upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Guru yang belum menuntaskan kurikulum tidak merasa beban, karena bisa saja materi yang belum tuntas tersebut tidak dimunculkan dalam soal ulangan atau ujian yang dibuatnya sendiri.

2. Menumbuhsuburkan KKN di kalangan akademis. Guru dipandang sebagai ''raja'' oleh siswa (atau guru sendiri merasa sebagai raja) yang menentukan hidup-matinya siswa. Sehingga siswa yang memiliki kemampuan akademis terbatas akan akan berupaya melakukan pendekatan dengan guru dengan cara apa pun asalkan bisa lulus. Di sini unsur subjektivitas guru akan banyak muncul.

Untuk menepis kekhawatiran tersebut, mutu kelulusan harus terus ditingkatkan setiap tahun. Unsur subjektif perlu ditekan sekecil-kecilnya, kalau memang tidak memenuhi syarat untuk naik kelas atau lulus ujian, harus tidak naik kelas atau tidak lulus. Demikian pula dalam pengawasan ujian, seorang pengawas hendaknya punya komitmen dan dedikasi yang tinggi, dalam arti bertanggung jawab dan disiplin terhadap tugas yang diberikan, kalau ingin meningkatkan kualitas SDM.

Tidak ada komentar: